RESENSI BUKU
Oleh : TariMaedi
Judul
Buku
|
:
|
KHR.
Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara
|
Penulis
ISBN
|
:
:
|
H.M
Ihsan, M. Zainal Anwar, M. Rikza Chamami, Makrus Ali, Khasan Ubaidilah,
Syaifullah Amin, dan Furqon Ulya Himawan
978-602-60637-0-1
|
Penerbit
Editor
Desain
Cover & isi
|
:
:
:
|
Pustaka
Compass
Aprilia
Koeshendraty
Aly
Hayun
|
Cetakan
|
:
|
Cetakan
Pertama, Desember 2016
|
Jumlah
Halaman
Ukuran
Harga
|
:
:
:
|
Xxviii
+ 246
15
x 21 cm
Rp.
65000,00
|
Kudus, kotaku. banyak orang banyak yang
mengenal Kotaku ini dengan berbagai sebutan, salah satunya yaitu “Kudus Kota
Santri”, kenapa disebut sebagai kota santri? Alasan yang tidak lain adalah
karena di Kudus memang banyak didirikannya pesantren – pesantren dan sekolah – sekolah
yang tidak hanya mengajarkan tentang pengetahuan umum saja tetapi juga
mengajarkan tentang pengetahuan agama yang dikudus dikenal dengan sebutan
Madrasah. Itulah sebabnya kenapa Kudus dikenal dengan Kota Santri. Banyak para
Santri dari dalam maupun luar kudus yang nyantri di Kudus dan sekolah di
Madrasah yang ada di Kudus.
Seperti salah satu madrasah yang ada
dikudus, yang sudah diyakini sebagai madrasah yang umurnya telah mencapai 1
abad atau 100 tahun. Masyarakat kotaku sering menyebutnya dengan Madrasah
Qudsiyyah, Ya. Memang nama madrasahnya adalah Madrasah Qudsiyyah Kudus.
Pertanyaannya bagaimana Madrasah tersebut dapat bertahan hingga mencapai 1
abad? Pertanyaan tersebut akan di jawab secara detail di buku ini.
Perjuangan menjaga nama “Madrasah”pun
dilakukan oleh Kiai Asnawi sebagai pendiri Madrasah Qudsiyyah. Dalam penjajahan
dalam bidang pendidikan, kebijakan dari pemerintah colonial yang mengharuskan
beberapa institusi pendidikan madrasah untuk bersikap moderat kepada pihak
colonial dengan melabeli kata school. Tapi Kiai Asnawi tetap menggunakan kata
Madrasah dan tidak menggunakan kata School.
Awal mula berdirinya madrasah
Qudsiyyah ini adalah sejak Kiai Asnawi pulang dari makkah untuk melakukan
ibadah haji serta menuntut ilmu di Makkah,. Selain Kiai Asnawi juga banyak para
pemuda dan agamawan kudus yang pergi ke Makkah untuk haji sekaligus belajar di
Makkah bahkan ada juga yang mengajar disana. itu sebagai bukti bahwa masyarakat
Kudus mempunyai semangat untuk belajar. Setelah sekitar 22 tahun Kiai Asnawi
mengajar di Makkah, pada tahun1916 Kiai Asnawi memutuskan untuk pulang ke
Kudus.
Setelah Kiai Asnawi pulang ke Kudus,
Kiai Asnawi disambut dengan permasalahan yang sedang terjadi di Masyarakat
Kudus yaitu tentang masalah kondisi ekonomi, sosial, dan keagamaan. Dalam
mengatasi masalah tersebut, Kiai Asnawi menggunakan stategi yaitu dengan
menyiapkan sebuah pelembagaan keilmuan yang diawali dengan forum pembelajaran
di Masjid Menara Kudus. Bagi Kiai Asnawi yang terpenting adalah bagaimana menyiapkan
generasi terdidik di masa mendatang dalam balutan pondasi “Ahlu Sunnah Wal
Jamaah”. Tahun 1917 M kegiatan pembelajaran telah dimulai walaupun belum ada
nama atau tempat yang pasti, terkadang pembelajaran dilakukan dirumah salah
satu pengurus di Desa Damaran, sempat juga sementara waktu menempati lokasi
yang akan menjadi rumah KHR Asawi di desa Bendan.
Pada Tahun 1919 M yang bertepatan
dengan 1337 H, Madrasah Qudsiyyah dibangun tepat di Selatan Menara Kudus. Serta
peresmian nama Qudsiyyah, nama Qudsiyyah diambil dari kata quds yang
berarti suci serta merujuk pada nama kota Kudus. Lokasi Menara Kudus yang
dipilih sebagai tempat gedung baru merupakan langkah srategis karena berada
tepat dijantung peradaban Islam Kudus Kuno, dimana ajaran – ajaran Sunan Kudus
secara continuo diwariskan dari generasi ke generasi. Madrasah ini tidak hanya
mempelajari pengetahuan umum saja, tapi jugag mempelajari tentang agama serta
mengkaji kitab – kitab kuning. Uniknya dimadrasah Qudsiyyah hanya menerima
peserta didik laki – laki saja.Jadi madrasah yang khusus untuk anak laki –
laki. Dan selain Kiai Asnawi ada juga Kiai2 Kudus lainnya yang mengajar di
Qudsiyyah.
Para Penulis buku ini, tidak hanya
menulis tentang berdirinya madrasah Qudsiyyah, tetapi juga menulis tentang sosok
Kiai2 lain di Kudus seperti KH Yahya Arief, KH. Ma’ruf Irsyad, dan KH. Sya’roni
Ahmadi. Kemudian para penulis juga menulis tentang Organisasi alumni – alumni
dari Madrasah Qudsiyyah Kudus yang melanjutkan belajar di Perguruan Tinggi
dimanapun.
Hebatnya Buku ini ditulis oleh
alumni Madrasah Qudsiyyah yang tersebar di Yogyakarta, Surakarta, Semarang,
Jakarta, bahkan yang diluar negeri seperti di Singapura dan Mesir juga ikut
menyumbang tulisannya. Buku ini sangat cocok untuk kita yang ingin mengetahui lebih
dalam tentang sejarah 1 abad Qudsiyyah serta perjuangan para tokoh- tokoh Kiai
dalam menyebarkan ajaran agama Islam dalam landasan Ahlu Sunnah Waljamaah.